Pertama Kali Bayar LIstrik

Dinda udah siap-siap berangkat ke rumah Rena yang kemarin sudah janjian mau pergi ke Mall siang ini. Terik matahari yang lagi tepat ada di atas kepala dan bikin bayagan tipis banget nggak bikin dua remaja itu malas ngemall, toh ntar di Mall juga adem. Tapi tiba-tiba ketika dia sedang mengeluarkan si matic dari kandangnya, mama buru-buru menyusulnya.

“Kamu mau ke mana Din?”, tanya mama.

“Mau main ke rumah rena, ma”, jawab Dinda setengah jujur. Kan aslinya mau ke mall, ke rumah rena dulu memang, tapi cuma menjemputnya dan berpindah tempat lagi.

“Mama nitip bayar listrik ya, tadi waktu pulang ngajar mama lupa nggak mampir. Ini kartunya, ini uangnya. Bayarin listriknya dulu sebelum main, soalnya hari Jumat tutup jam setengah dua, “ pesan mama pada anak sulungnya yang berdasarkan pengalaman sering lupa kalo disuruh sesuatu.

“Hemm… beres ma”, jawab dinda melegakan hati mamanya.

Dia pikir okelah mengemban tugas agung dari mama dulu sebelum bersenang-senang kemudian. Toh bayar listrik nggak akan makan waktu berjam-jam kan. Di jaman yang udah canggih gini, pasti tinggal ngumpulin kartu atau ngambil antrian, tunggu dipanggil, dan bayar, seperti ketika dia biasa bayar telepon yang sudah menjadi monthly tasknya.

Tempat bayar listrik yang mama datangi bukan kantor PLN seperti dugaan Dinda. Dia memang dapet tugas bayar rekening telepon di kantor Telkom setiap bulan karna kantor Telkom searah dengan sekolahnya. Tapi soal bayar listrik, nganterin mama sekali aja belum pernah. Biasanya mama yang bayarin sekalian pulang kerja dari mengajar di SD tempat Dinda sekolah dulu. Di depan kantor yang tidak begitu besar dengan toko kue dan alat tulis di bagian depan ini tidak banyak sepeda dan motor yang terparkit. Hanya ada sekitar dua sepeda dan lima sepeda motor. Baguslah, sekitar lima belas menit lagi Dinda memperkirakan dirinya sudah dipanggil dan tugas pun selesai. Dia bergegas masuk dan seperti dugaannya, yang harus dilakukan adalah mengumpulkan kartu pembayaran listrik lalu menunggu namanya dipanggil.

Dinda memilih duduk di baris ke dua deretan bangku yang berjarak satu meter dari meja petugas di sepetak ruangan yang tidak lebih dari 4 x 5 meter itu. Di depannya ada dua orang laki-laki separuh baya, yang satu berseragam dinas seperti seragam ibunya, yang satu lagi memakai kaus polo kuning dan memakai topi. Mungkin mereka berteman karna nampaknya mereka ngobrol dengan akrab tentang anak masing-masing. Dinda bukan bermaksud menguping, tapi kedua bapak ini berada tepat di depannya dan mereka ngobrol bagai dunia milik berdua. Di samping kanan deretan bapak-bapak tadi ada seorang laki-laki lagi, dia lebih tua, berkaus putih agak lusuh bertuliskan “HUT ke 45 PT. Tirta Abadi” di punggungnya. Yang ini asik melihat tayangan televisi di depan kami. Bangku yang sederet dengan Dinda juga berpenghuni, dua orang wanita seumuran ibunya dan seorang lelaki berseragam Pemda yang sedang membaca koran.
Beberapa menit kemudian dua orang laki-laki seumuran kakeknya datang hampir bersamaan mengumpulkan kartu di meja petugas.

Dinda membuka facebook dari handphonenya karna berita di televisi mengenai kecelakaan mobil yang masuk jurang tidak begitu menarik, apalagi suaranya kecil sekali . Mungkin memang sengaja diset demikian agar suara petugas memanggil para antean nggak kalah sama suara tv.

“Pak Marzuki, Botoran”.

Mbak petugas memanggil seorang nama dan berdirilah bapak berkaus putih tadi. Dinda tetap terpaku pada facebook sambil memasang telinganya untuk menyiapkan respon kalau nama ayah, eyang, atau mamanya dipanggil. Dia menyiapkan tiga nama di otaknya karna nggak yakin rekening listrik itu atas nama siapa saking kepingin cepet mengumpulkan kartunya tadi.

Dua puluh menit kemudian sudah sekitar empat atau lima nama terpanggil, tapi Dinda yakin tidak mendengar nama ayah, eyang, atau mama. Dinda melirik sekitarnya, mas yang sederet dengannya yang tadi masih ada, mungkin setelah orang ini dia akan dipanggil.

Sepuluh menit kemudian, dua nama lagi sudah terpanggil. Eh, atau tiga ya, atau empat, Dinda nggak yakin karena tadi dia melanjutkan aktifitas facebooknya comment sana sini. Ketika dia melihat sekeliling, ada lebih banyak orang di ruangan itu dari pada ketika dia pertama kali masuk, tapi bahkan dua bapak-bapak yang masuk setelahnya sudah menghilang. Wah.. ada yang nggak beres ini. Jangan-jangan tadi dia keasyikan main facebook, tapi dia juga yakin nggak mendengar nama eyang, atau ayah, atau mama dipanggil.

Cling Cling. Nada sms di handphonenya berbunyi.

From : Rena
Din, how how? Jadi nggk nih? Bayar listriknya ngantri banyak bgt ya?

Sudah hampir satu jam sejak Dinda ngabarin Rena kalau dia bakalan telat karna harus bayar listrik dulu. Secepat kilat dia membalas sms sahabatnya.

To : Rena
Iya jadilah. Bentar, ni mbaknya salah panggil kali aq blm dipanggil2 dr td. Hufh… mna lama lg.

From: Rena
Emang km nungguny dmn smbil ngpain? Ktiduran?? Ato pas km nglamun kli, cb tnya gih

Akhirnya Dinda mengumpulkan keberanian untuk bertanya walau aslinya sangat enggan. Dia takut namanya memang sudah dipanggil yang berarti dia memang salah.

“Mbak, Pak Hendra udah dipanggil belum ya?”, tanyanya pada mbak-mbak petugas yang lagi ngeprint sesuatu.
“Belum ada nama Pak Hendra mbak”, jawab si mbak.
“Kalo Pak Usman?”, ganti nama kakeknya yang ditanyain.
“Hemm… Belum kayanya”, jawabnya lagi, kali ini sambil tetap menatap computer di depannya.
“Kalo Bu Hermin?”, sekarang nama mamanya yang disodorkan.
“Belum. Mbak tunggu aja dulu nanti pasti dipanggil kalau sudah mengumpulkan kartunya”, jawab si mbak akhirnya. Mungkin dia frustasi sama Dinda yang lagi mengabsen nama dan mengantisipasi kalau-kalau Dinda mau menanyakan satu nama lagi.

Akhirnya Dinda memutuskan kembali duduk dan menunggu. Kali ini dia nggak membuka facebook, tapi memutar-mutar handphone di tangannya sambil fokus mendengarkan petugas yang ia tanyai tadi.

Satu menit berlalu. “Pak Miadi”.

Lima menit. “Ibu Sumini”.

Dinda semakin nggak sabar. Nggak adil banget kalau sampai sekarang dia belum dipanggil padahal sudah hampir jam setengah dua dan kini orang yang ada di ruangan itu adalah orang-orang baru yang datangnya jauh sesudahnya.

Ntah berapa menit. “Pak Heru”.

Cukup sudah. Harus ada seseorang yang menjelaskan ini dan dia adalah mama. Kalau Dinda nekat tanya mbak yang tadi ntah apa yang bakalan terjadi.

“Halo, assalamualaikum. Ma?”
“Waalaikumsalam. Kenapa nak? Sudah bayar listriknya?”, jawab suara yang meneduhkan di seberang sana setelah penantian yang begitu panjang.
“Belum ma…”, kata Dinda mengadu, “aku nggak dipanggil-panggil. Pake nama siapa sih ma?”
“Lho, kamu nggak baca kartunya? Namanya Pak Haroni”.

DUENG?! Siapa pula itu! (baca pake logat batak)

“Hah, siapa tuh ma? Kirain pake nama ayah ato eyang ato mama, pantesan aku nggak tahu”.
“Lah, makanya dilihat dulu kartunya. Ceroboh sih, ya gitu jadinya. Pak Haroni itu yang punya tanah sebelum dibeli sama ayahmu”.
“Astaga… ada-ada aja ni Pak Haroni, bikin orang nunggu nggak jelas aja. Yaudah Dinda tanyain lagi. Assalamualaikum”. Mama di ujung telepon hanya bisa geleng-geleng kepala.
Bagaikan pengelana yang tersesat di hutan yang kemudian menemukan jalan setapak menuju pemukiman penduduk, Dinda menuju meja petugas dengan mantap dan hati lega tanpa ragu dan tanpa malu.
“Mbak, kalo Pak Haroni?”

Comments

Popular posts from this blog

Chrysanthemum (Tea)

Rindu Itu Berat

What is Good Teacher?