Susahnya Ngajak Tertib

Dua bulan ini sistem kereta ekonomi mulai tertib dan nyaman. Peraturan baru yang membatasi penjualan tiket sesuai tempat duduk yang tersedia, menurut saya semacam a great leap for such a public transportation. Kebayang kan gimana sumpeknya kereta api antar kota dalam provinsi dulu, terutama di akhir pekan atau hari libur. Wuih, isinya maksa banget kadang, kalo lift paling udah bunyi nggak karu-karuan karna overload. Sekarang it is much better banget.

Dan, sudah menjadi kodrat alam bahwa segala sesuatu ada plus minusnya. Repotnya dalam hal ini adalah, harus dateng awal banget kalo nggak mau kehabisan tiket kereta, atau musti pesen dulu buat jam berikutnya, terutama weekend. Musimnya mahasiswa dan orang kerja pulkam. Plusnya, penumpang lebih dibatasi yang otomatis mengurangi sesaknya penumpang di dalam kereta. Kenapa saya sebut mengurangi, karna masih ada penumpang yang ngak dapet tempat duduk. Saya juga awalnya bingung, bukannya tiket udah dibatasi sesuai tempat duduk yang tersedia? Tapi ternyata nggak demikian. Beberapa stasiun kecil masih menjual karcis yang nggak ada nomor tempat duduknya, karcis analog mereka bilang. Harganya? saya kurang tahu, tapi sepertinya sama. Mungkin stasiun-stasiun kecil tersebut sedang dalam proses peralihan apa ya, ntahlah. Semoga saja nantinya karcis analog pun akan dihilangkan. Biar sama semua.

Nah, selama beberapa kali naik kereta pasca pengadaan peraturan baru tadi, saya nemu berbagai kontroversi, polemik, bahkan konflik masalah tempat duduk.

Kasus pertama, percakapan singkat antara penumpang yang baru masuk dan penumpang yang sudah dari tadi duduk.
P. baru : "Ini kursinya ada orangnya pak?"
P. lama : "nggak ada bu, nomor karcisnya berapa?"
P. baru : "oh, harus sesuai sama itu toh pak, nggak boleh di sini ya?"
P. lama : "nggak papa lah bu, orang nggak ada yang punya juga ini. monggo di sini aja. yang penting kan banyak yang kosong".
P. lama : "iya ya, aneh-aneh aja sekarang. ribet pake tempat duduk segala".


Di hari lain,
P. baru :mencari nomor tempat duduknya
Pedagang asongan : "Ayo cepet duduk pak, jalane buat lewat"
P. Baru : "yawes disini aja, permisi nggih pak"
P. lama : .... (tersenyum dan mengangguk kecil)
Pedagang asongan : "iya nggak papa pak, sembarang aja lah pokoknya dapet tempat duduk, kan sama saja duduk dimanapun"
Penumpang lain : "wooo, goblok. Ngajarin kok nggak bener" (berkata lirih, lebih pada ngomel ke dirinya sendiri yang sebenernya mengatai pedagang asongan tadi)


Hari lain lagi, (hari ini lebih tepatnya) bangku yang nomornya tertera di karcis saya sudah berpenghuni. Mau diminta juga nggak enak, wong sama-sama bayarnya kan. Saya ngeluarin karcis buat mencocokkan siapa tahu saya yang salah lihat. Tapi ternyata tidak. Mas-mas yang duduk di situ ternyata tanggap dan langsung bertanya" nomor berapa mbak?". "gerbong 2 nomor 22D mas", jawab saya. Mas itu langsung berdiri setelah mengatakan "Oh iya, sini berarti. Monggo silakan, saya sudah hampir turun kok. Karcis saya memang nggak ada tempat duduknya". Untung yang nempatin mas-mas, coba ibu atau aki nini, mana tega saya ngambil alih itu kursi.

Di kursi sebelah maupun yang berhadap-hadapan dengan saya juga sudah terisi. Tapi beberapa lama kemudian ada sepasang suami istri yang rupanya pemilik sah bangku untuk 2 orang di hadapan saya itu. Yang sedang duduk di sana, seorang wanita setengah baya dan seorang lagi ibu-ibu berusia sekitar 60an, sepertinya mereka anak beranak. Sempet terjadi eyel-eyelan. Ternyata dua orang wanita yang duduk tepat di depan saya itu sebenarnya juga punya karcis bernomor tempat duduk, tapi keika mereka akan duduk di sana, si kursi sudah berpenghuni. Sedangkan sepasang suami istri yang mengklaim kursi mereka tadinya juga sudah duduk di tempat lain tapi kemudian diusir (nggak nyaman sebenernya pake kata ini) sama yang punya. Dan sekarang yang menempati kursi mereka nggak mau pindah. Untung si bapak mau ngalah, dan akhirnya ketiga ibu-ibu itu duduk berdampingan.

Kasus di atas masih mending, temen saya, ike, katanya juga pernah berantem sama yang nempatin kursinya waktu di kereta, padahal orang itu sebenernya juga punya karcis yang bernomor tempat duduk. Hemmm.... susah kan. Peraturan yang bagus kalau nggak didukung oleh seluruh komponen yang terlibat nggak bakal keliatan bagusnya. Kapan ya kultur sadar diri ini membahana di seantero negri. Semoga suatu saat nanti lah. Nggak hanya dalam kasus tempat duduk di kereta, tapi juga antrean, apapun jenis antreannya, buang sampah, dan yang terutama pemakaian jalan. Amiiin 1jtx.

Comments

  1. dikasih petunjuk/tulisan d keretae "tempat duduk sesuai dengan karcis" ntar lek eyel eyelan ditunjukin ae tulisane

    ReplyDelete
  2. Sakjane kbeh wes pda ngerti lo bie, tapi y panceeet ae

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Chrysanthemum (Tea)

Rindu Itu Berat

What is Good Teacher?