Suara Rakyat Jelata : "Regulasi Berdasar Nurani"

Kalo Dedi Mizwar bilang "Alangkah Lucunya Negeri Ini" di facebook, bakal saya kasi jempol deh, ato di RT berkali-kali kalo di twitter.
Habis ngurus surat kuasa ke Kecamatan, kembali terbersit angan, kenapa regulasi di negriku tercinta ini masih nggak jelas, terutama dalam pelayanan masyarakat. Dulu waktu mengurus KTP di kelurahan di kota kelahiran saya, Tulungagung, mengurus surat keterangan nggak pakai PDAM untuk keperluan kuliah, ngurus surat keterangan warga setempat, selalu hal yang sama saya temui. Di akhir pengurusan, kita dikenai biaya administrasi tanpa resi yang tak pasti, alias (kalo orang jawa bilang) sak ikhlase. Demikian juga yang barusan terjadi di salah satu Kecamatan di Malang. Setelah kemarin menaruh berkas surat kuasa yang akan dimintakan pengesahan dari kecamatan (tanda tangan Camat dan stempel Kecamatan), hari ini saya mengambilnya. Sebenernya udah saya siapkan memang, sejumlah rupiah dalam amplop untuk jaga-jaga kalau-kalau kultur biaya administrasi seikhlasnya berlaku di kota ini juga. Dalam hati saya berharap mereka mempunyai nominal yang jelas untuk biaya administrasi apapun. Ini kan kota besar, yah dibandingkan dengan kota kelahiran saya.

Lucunya, ntah saya yang payah atau memang seharusnya tidak begitu, atau keduanya, tadi waktu berkas selesai distempel, bapak yang sedang bertugas itu bilang, "mbaknya ngisi administrasi dulu ya". Dengan santainya saya menjawab," Oh iya pak".

Coba deh kalo ada orang bilang kaya gitu dan saya berfikir bahwa akan ada sejenis form administrasi yang harus diisi seperti nama pemohon pengesahan, keperluan, atau apa gitu, salah nggak sih? Dan itu memang yang ada di benak saya, makanya setelah si bapak bilang gitu saya cuman mengiyakan dan menunggu si bapak memberikan kertas atau pena. Berhubung saya diam saja, bapak itu mengulangi kalimatnya, "mbaknya ngisi administrasi dulu ya mbak."
Dan saya dengan PDnya bilang, "di mana pak? di sini?" sambil membolak balik beberapa carik kertas kecil yang ada di dalam sebuah kaleng bekas permen di meja di depan saya. Kertas itu ternyata tidak berisi kolom data yang harus diisi seperti formulir atau semacamnya melainkan kertas bekas ketikan yang tidak terpakai dan masih ada tempat kosong di baliknya. Saya jadi bingung, hingga akhirnya si bapak menjawab pertanyaan saya,
"Iya di sini mbak, terserah mbaknya mau diisi berapa".
Seketika kalimat itu membuat semuanya menjadi jelas. Hahah.... pingin ketawa tapi nggak enak, ya sudah langsung aja dikeluarin si amplop putih yang memang udah disiapin dari awal.

Fenomena itu yang mengangkat kembali pertanyaan di benak ini dari dulu. Sebenernya dibenarkan nggak sih mengenakan biaya administrasi pada sesuatu yang memang menjadi kewajiban suatu instansi? Bukankah lembaga-lembaga pemerintahan tersebut bertugas untuk melayani kebutuhan masyarakat? Bukankah pegawai negri juga mendapatkan gaji dari pajak seluruh lapisan masyarakat?
Yah, katakanlah sebagai ongkos lelah (walaupun sebenarnya tidak masuk akal karena menandatangani dokumen dan memberikan stempel saja yang diminta, toh tidak harus keluar dari area kantor atau wira wiri). Apakah nggak lebih baik jika ditetapkan saja nominal yang pasti hingga masyarakat yang mempunyai keperluan tertentu tidak perlu bingung harus mengisi administrasi berapa (benar-benar kalimat yang janggal).

Harapan rakyat jelata ini, suatu ketika regulasi apa pun di negriku tercinta akan menjadi semakin tertata, semakin jelas, dan berujung pangkal.

Comments

  1. wkwkwkk... batin e pak petugase, tante2 iki ncen o'on opo mek etok2 gak ngerti to...xixixi

    ReplyDelete
  2. Lhah ancene kalimate ngunu, coba bapaknya bilang "biaya administrasinya terserah mbaknya aja", ato "biaya administrasinya dulu y mbak", ngunu kek. Kalo administrasi kan emang sesuatu yang berhubungan dengan data kan

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Chrysanthemum (Tea)

Rindu Itu Berat

What is Good Teacher?